1.PERJANJIAN
A.
PENGERTIAN PERJANJIAN
Berdasarkan
ketentuan pasal 1233 BW, perjanjian merupakan salah satu sumber yang bisa
menimbulkan perikatan. Adapun
pengertian dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Meskipun bukan
yang paling dominan, namun pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian
merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, dan
yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara
luas oleh legislator, para praktisi hukum, serta juga pada cendekiawan hukum,
menjadi aturan-aturan hukum positif yang tertulis, yurisprudensi dan
doktrin-doktrin hukum yang dapat kita temui dari waktu ke waktu.
Perjanjian
atau kontrak merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh orang untuk
mendapatkan harta kekayaan yang diperlukan dalam hidupnya. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita bisa dengan mudah menemukan orang yang mengadakan berbagai
perjanjian, misalnya jual beli, tukar-menukar, pemberian kuasa, penitipan
barang, perjanjian kerja, dan sebagainya.
Dalam hukum
asing dijumpai istilah overeenskomst (bahasa
Belanda), contract, agreement (bahasa
Inggris), contract convention (bahasa
Prancis), pacte conventie contractus (bahasa
Latin), kontrakt vertrag (bahasa
Jerman), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal
sebagai “kontrak” atau “perjanjian”.
BW menggunakan
istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal
ini dapat dilihat jelas dari judul Bab II Buku III BW. Judul dari Bab II Buku
III BW adalah “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau
Perjanjian”. Dari judul tersebut dapat diberikan makna bahwa kontrak adalah
perjanjian, dan perjanjian adalah kontrak.
Sementara itu
banyak kalangan berpendapat sama sebagaimana Subekti berpendapat, bahwa
“kontrak adalah perjanjian yang tertulis” dan justru pengertian yang terakhir
inilah yang jamak diterima dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Kenyataan ini,
menurut hukum logika dikenal sebagai kesalahan logis (fallacy of relevance) jenis argumentum
ad verecvundian, yaitu penalaran yang mendasarkan atau yang menggantungkan
pada pendapat orang yang memiliki otoritas. Dalam hal ini
yaitu pendapat Subekti, sebagai seorang penulis dari berbagai buku hukum dan
juga seorang mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Menurut Peter
Mahmud Marzuki, dalam suatu kesempatan perkuliahan Magister Hukum Bisnis
Universitas Gadjah Mada, bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih luas
daripada kontrak. Kontrak merujuk pada suatu pemikiran akan adanya keuntungan
komersil yang diperoleh kedua belah pihak.
Sedangkan
perjanjian dapat saja berarti social
agreement yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersil. Dengan demikian
pembedaan dua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak
diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun
dapat dibuat secara lisan.
Mengutip apa
yang terdapat dalam Black’s Law
Dictionary disebutkan bahwa kontrak adalah perjanjian antara 2 (dua) orang
atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
hal khusus (Contract is agreement betwen
two or more persons which creates an obligation, to do or not a particular
thing).
Hal pokok
dalam definisi tersebut adalah bahwa kontrak dipandang sebagai persetujuan dari
dua pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan
sesuatu hal tertentu. Sedangkan menurut G.H. Treitel : “a contract is an agreement giving rise to obligations which are
enforced or recognised by law. ”Lebih lanjut
dikemukakan oleh Treitel bahwa : “The
first requisite of a contract is that the parties should have reached
agreement”.
Dalam hal ini,
pengertian yang diutarakan oleh Treitel menekankan pada kesepakatan para pihak
dan tidak menyebutkan bahwa kontrak adalah perjanjian tertulis. Ronald A.
Anderson dan Walter A. Kumpf memberikan pendapat mengenai contract:
“Generally a contract is an exchange of
promises or assents by two or more persons, resulting in an obligation to do or
to refrain from doing a particular act, which obligation is recognize or
enforced by law. A contract may also be formed when a promise is made by one
person in exchange for the act or the refraining from the doing of an act by
another”.
Pothier tidak
memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian
contract dengan convention (pacte).
Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang
atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen)
atau merubah (wijzegen) perikatan.
Sedangkan contract adalah perjanjian yang
mengharapkan terlaksananya perikatan. Terhadap
penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha Hernoko sependapat dengan
beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan
perjanjian.
Dimana dalam
BW disamakan pengertian antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) dengan istilah kontrak.
Selain itu dalam praktik kedua istilah tersebut juga dipergunakan dalam kontrak
komersial, misalnya dalam perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha,
kontrak kerjasama, perjanjian kerjasama, kontrak kerja konstruksi.
Didalam BW, pengertian
perjanjian terdapat dalam ketentuan pasal 1313, yaitu “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
Perbuatan yang
disebutkan dalam ketentuan pasal 1313 BW hendak menjelaskan bahwa perjanjian
hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan,
maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.
Para sarjana
Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat
di dalam ketentuan pasal 1313 BW adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap
karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.
Definisi itu
dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum
keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya
berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Buku III BW. Perjanjian yang diatur
dalam Buku III BW kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain
dapat dinilai dengan uang.
Berdasarkan
uraian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa perjanjian mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
1.
Ada
pihak-pihak yang menjadi subjek, sedikitnya dua pihak dan masing-masing bisa
terdiri atas orang dengan orang atau orang dengan badan hukum atau badan hukum
dengan badan hukum. Dengan demikian tidak mungkin dikatakan ada perjanjian jika
subjeknya hanya satu;
2.
Ada
persetujuan (kesepakatan) diantara para pihak. Kesepakatan digambarkan sebagai
pernyataan kehendak para pihak yang saling mengisi. Kesepakatan tersebut
terbentuk melalui penawaran-penawaran yang disampaikan oleh para pihak yang
kemudian bertemu pada satu titik.
3.
Ada
objek yang berupa benda. Objek perjanjian adalah harta benda yang dapat
diperdagangkan.
4.
Ada tujuan yang bersifat kebendaan (mengenai
harta kekayaan). Dengan perkataan lain bahwa perjanjian bermaksud mengalihkan
hak atas harta benda yang menjadi objek perjanjian.
5.
Ada
bentuk tertentu, lisan atau tertulis. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak
atau partij otonomie sebenarnya
perjanjian dapat dibuat secara lisan sehingga dikenal sebagai kontrak lisan,
bisa pula berbentuk tertulis kecuali Undang-Undang menentukan lain, yaitu yang
dalam teori dikenal dengan sebutan kontrak formal seperti kontrak perdamaian,
kontrak penjaminan tanah, kontrak pendirian perseroan terbatas, perjanjian
hibah.
Sedangkan
unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai berikut:
1.
Adanya
perbuatan hukum;
2.
Persesuaian
pernyataan kehendak dari beberapa orang;
3.
Persesuaian
ini harus dipublikasikan atau dinyatakan;
4.
Perbuatan
hukum terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih;
5.
Pernyataan
kehendak (wilsverklaring) yang sesuai
harus saling bergantung satu sama lain;
6.
Kehendak
ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;
7.
Akibat
hukum untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik;
8.
Persesuaian
kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.
B.
AZAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Sistem
pengaturan hukum perjanjian dalam Buku III BW adalah sistem terbuka (open system), atau juga disebut sebagai aanvullend recht. Artinya bahwa
setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun
yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat
disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) BW, yang
berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Subekti
berpendapat bahwa dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat
undang-undang bagi kita sendiri. Dalam
ketentuan tersebut terdapat azas kebebasan berkontrak. Azas kebebasan
berkontrak dinamakan juga azas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan adanya
(raison d’etre, het bestaanwaarde)
perjanjian. Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang pada paham individualisme yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau.
Azas kebebasan
berkontrak merupakan salah satu azas utama dan sangat penting dalam suatu
perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
diantaranya:
1. Bebas menentukan apakah ia akan
melakukan perjanjian atau tidak;
2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan
melakukan perjanjian;
3. Bebas menentukan isi atau klausul
perjanjian;
4. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
menurut azas kebebasan berkontrak, para pihaklah yang paling berhak menentukan
hukum yang hendak mereka pilih untuk mengatur perjanjian mereka, hukum yang
berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian sengketa
sekiranya timbul suatu sengketa dari perjanjian yang mereka buat. Azas
kebebasan berkontrak merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis
diakui sebagian besar negara di dunia ini sehingga dapat dikatakan merupakan
prinsip universal.
Azas kebebasan berkontrak menjadi salah satu azas yang utama,
dikarenakan azas ini bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam melakukan
transaksi bisnis yang senantiasa berkembang seiring perkembangan teknologi.
Kedudukan azas kebebasan berkontrak ini semakin diperkuat dengan ketentuan
pasal 1319 BW, yang memuat:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai
suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan bab yang
lalu.”
Dengan
kata lain, ketentuan pasal 1319 BW mengakui akan adanya perjanjian-perjanjian
selain yang terdapat dalam BW. Perjanjian-perjanjian yang tidak terdapat dalam
Buku III BW ini dinamakan perjanjian tak bernama atau kontrak innominaat.
C.
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Suatu
perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian agar sebuah perjanjian bisa
memiliki kekuatan untuk memaksa para pihak. Adapun syarat sah perjanjian
menurut ketentuan pasal 1320 BW adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan para pihak pada prinsipnya adalah pengejawantahan
dari azas konsensualitas. Azas
konsensualitas memperlihatkan bahwa sebuah perjanjian timbul seketika setelah
para pihak mecapai kesepakatan atau consensus.
Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak
masing-masing untuk menutup sebuah perjanjian; pernyataan salah satu pihak
“cocok” dengan pernyataan pihak yang lain. Kesepakatan
bisa terjadi setelah para pihak sebelumnya melakukan proses penawaran dan
penerimaan. Harold F. Lusk berpendapat bahwa untuk melahirkan sebuah
perjanjian, para pihak harus berada pada kondisi mutual understanding antar pihak, dan kondisi mutual understanding terjadi dengan salah satu pihak melakukan
penawaran dan penerimaan oleh pihak lainnya. Kesepakatan
merupakan hal yang substansial dalam sebuah perjanjian, Nigel Savage dan Robert
Bradgate berpendapat:
“for there to be a
legally binding contract there must be an agreement, that is, a reasonably
definite understanding between two or more persons.”
Pernyataan
kehendak bukan hanya dengan kata-kata yang tegas dinyatakan, tetapi juga
kelakuan yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan perjanjian.
Sudikno
mertokusumo menyatakan bahwa ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan
kehendak, yaitu:
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat
diterima oleh pihak lawan. Hal ini mengingat dalam kenyataanya sering kali
seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh
pihak lawannya;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima pihak
lawannya; dan
5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami
atau diterima pihak lawan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat dirumuskan sebagai
kemungkinan melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri
tanpa diganggu gugat. Subjek hukum
dalam melakukan perjanjian bisa merupakan natuurlijk
persoon ataupun rechtspersoon.
Menurut ketentuan pasal 1330 BW, natuurlijk
persoon dikatakan tidak cakap untuk melakukan sebuah perbuatan hukum adalah
ketika:
1) Orang-orang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu; (namun
ketentuan ini telah dihapus dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963
dan pasal 31 undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan)
` Berdasarkan ketentuan yang tertuang
dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No.
30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, dan Undang-Undang No. 12 tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, seseorang dikatakan telah
cakap dalam melakukan perbuatan hukum jika telah berusia 18 tahun.
Sedangkan
pengertian badan hukum (rechtspersoon)
menurut Chidir Ali mencakup beberapa hal, yaitu:
1) Perkumpulan orang (organisasi);
2) Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan
hukum (rechtsbetrekking);
3) Mempunyai harta kekayaan sendiri;
4) Mempunyai pengurus;
5) Mempunyai hak dan kewajiban;
6) Dapat digugat atau menggugat di depan
Pengadilan.
Suatu badan
hukum dikatakan cakap melakukan perjanjian harus diukur dari aspek kewenangan
organ yang melaksanakan. Kewenangan merupakan salah satu syarat yang menentukan
keabsahan kontrak yang dibuat oleh badan hukum, baik badan hukum privat maupun
badan hukum publik.
Hal ini
terkait kedudukan badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum guna
memenuhi kebutuhan perkembangan kehidupan bermasyarakat. Dalam badan
hukum perseroan terbatas, direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan
terbatas tersebut. Sehingga
sebuah perseroan terbatas dikatakan cakap melakukan perjanjian apabila
dilakukan oleh direksi atau oleh organ yang secara struktural berada dibawah
direksi telah diberi kuasa oleh direksi sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar
perseroan.
3. Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu,
sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda
yang sekarang ada dan nanti akan ada. Pernyataan-pernyataan yang sifat dan luasnya sama sekali tidak dapat
ditentukan, tidak mempunyai daya mengikat. Didalam
berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah
prestasi pokok sebuah perjanjian (onderwerp
der overeenskomst). Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek
perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi.
Jika pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi itu kabur,
tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal
(nietig, void). Ahmadi Miru
berpendapat bahwa hal tertentu dalam sebuah kontrak disebut prestasi yang dapat
berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Kartini
Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan kebendaan
yang telah ditentukan jenisnya, meliptui tidak hanya perikatan untuk memberikan
sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
“Memberikan sesuatu” adalah kewajiban seseorang untuk
memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu. Memberikan sesuatu dapat diartikan
baik penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis. “Berbuat sesuatu” adalah setiap prestasi
berwujud berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif. “Tidak
berbuat sesuatu” yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
dijanjikan, misalnya tidak mendirikan bangunan yang menutupi pemandangan. Untuk
menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat digunakan berbagai cara
seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk
menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh para pihak.
Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga
harus dijelaskan dalam kontrak.
4. Suatu sebab yang diperbolehkan/causa
yang diperbolehkan
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian,
yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan “causa
yang diperbolehkan” dalam pasal 1320 BW bukanlah sebab dalam arti yang
menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam
arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai
para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan
perjanjian. yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang adalah isi perjanjian
itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai para pihak, apakah dilarang
oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan atau tidak.
Suatu perjanjian dapat bersifat tidak
diperbolehkan dalam berbagai hal, yaitu:
1) Penutupan perjanjian tidak
diperbolehkan;
Misal: jual beli antara suami-istri dilarang
2) Cara timbulnya perjanjian tidak
diperbolehkan;
Misal: penutupan perjanjian schenking yang tidak dalam bentuk akta otentik
3) Isi perjanjian tidak diperbolehkan;
Misal: Para pihak menutup perjanjian yang menentukan bahwa
salah satu pihak membuat kalender pornografi
4) Cara pelaksanaan perjanjian tidak
diperbolehkan;
5) Maksud para pihak tidak diperbolehkan.
Selain itu,
perjanjian adalah batal jika perjanjian tersebut tanpa causa. Perjanjian adalah
tanpa tanpa causa, jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu dibuat
perjanjian tidak akan tercapai. Misalnya, para
pihak mengadakan novasi atas sesuatu perikatan yang tidak ada.
Syarat pertama dan kedua pasal 1320
BW disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek
perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Tetapi
jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap mengikat
pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum waktu lima tahun.
Syarat
ketiga dan keempat pasal 1320 BW disebut syarat objektif, karena mengenai
sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi,
perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak
mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian
diperkarakan ke muka hakim, dan hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak
memenuhi syarat objektif.
2.PERUSAHAAN
Pengertian Perusahaan
dan Tujuannya
Secara umum perusahaan (business) adalah suatu
organisasi di mana sumber daya (input), seperti bahan baku dan tenaga kerja
diproses untuk menghasilkan barang dan jasa (output) bagi pelanggan. Tujuan
dari perusahaan secara umum ialah laba/keuntungan. Laba (profit) adalah selisih
antara jumlah yang diterima dari pelanggan atas barang atau jasa yang
dihasilkan dengan jumlah yang dikeluarkan untuk membeli sumber daya alam dalam
menghasilkan barang atau jasa tersebut.
Jenis-Jenis
Perusahaan
Terdapat tiga jenis perusahaan yang beroperasi untuk
menghasilkan laba yaitu :
a) Perusahaan Manufaktur
(Manufacturing)
Mengubah input dasar menjadi produk yang dijual kepada
masing-masing pelanggan.
b) Perusahaan Dagang
(Merchandising)
Menjual produk kepada pelanggan tanpa mengubah bentuk
barang dan jasanya.
c) Perusahaan Jasa
(Service)
Menghasilkan jasa untuk pelanggan.
Jenis-Jenis
Organisasi Perusahaan
Umumnya, terdapat empat bentuk perusahaan yang
berbeda, yakni :
a) Perusahaan
Perseorangan à dimiliki oleh perorangan
b) Persekutuan
(partnership) à dimiliki dua atau lebih individu
c) Korporasi
(corporation) à dibentuk sebagai suatu badan hukum terpisah
d) Perusahaan dengan Kewajiban
Terbatas (Limited Liability Corporation)
Menggabungkan karakteristik persekutuan dan korporasi.
Ketiga jenis perusahaan (manufaktur, dagang dan jasa)
dapat berbentuk perseorangan, persekutuan, korporasi maupun campuran.
Strategi Bisnis
Serangkaian rencana dan tindakan terintegrasi yang
didesain bagi perusahaan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan melebihi
pesaingnya sekaligus memaksimalkan laba. Dua strategi dasar yang biasanya
digunakan oleh perusahaan adalah strategi biaya rendah (low-cost strategy) dan
strategi diferensiasi (differentiation-strategy).
Rantai Nilai
Perusahaan
Apabila perusahaan telah memilih satu strategi
tertentu, maka strategi tersebut harus diterapkan pada rantai nilainya. Rantai
nilai (value of chain) adalah cara yang dilakukan perusahaan untuk memberi
nilai tambah bagi pelanggannya mulai dari proses input sampai menjadi output
dari sebuah produk barang/jasa.
Pihak-Pihak yang
Berkepentingan
Business Stakeholder/pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap perusahaan adalah perorangan atau entitas yang mempunyai kepentingan
dalam menentukan kinerja perusahaan. Terdiri dari :
a) Pemilik (owners)
Pihak yang menginvestasikan sumber dayanya.
b) Manajer (manager)
Orang yang diberi kewenangan oleh pemilik untuk
mengoperasikan perusahaan.
c) Karyawan (employee)
Orang-orang yang memberikan jasanya kepada perusahaan
sehingga mereka memperoleh upah.
d) Pelanggan (customers)
Pihak yang membeli/mengkonsumsi barang/jasa yang
dijual/dihasilkan perusahaan.
e) Kreditor (creditors)
Pihak yang menginvestasikan sumber dayanya melalui
pemberian kredit.
f) Pemerintah
(government)
Pihak yang berkepentingan terhadap pemungutan pajak
perusahaan.
Peranan Akuntansi
dalam Perusahaan
Secara umum, akuntansi didefinisikan sebagai sistem
informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap aktivitas ekonomi dan kondisi perusahaan.
Proses di mana akuntansi menghasilkan informasi bagi
pihak-pihak berkepentingan dapat dilihat dari gambar berikut :
Profesi Akuntansi
Para akuntan berkarier sebagai akuntan perusahaan atau
akuntan publik. Akuntan yang bekerja pada perusahaan atau organisasi nirlaba
disebut sebagai akuntan swasta (private-accountant); sedangkan akuntan beserta
staf mereka yang memberikan jasa akuntansi berdasarkan honor (fee) disebut
akuntan public (public-accountant).
Bidang Spesialisasi
Akuntansi
Pada umumnya, terdapat dua bidang akuntansi yaitu :
a) Akuntansi keuangan
(financial-accounting)
Berkaitan dengan pencatatan dan pelaporan data serta
kegiatan ekonomi perusahaan.
b) Akuntansi manajemen
Menggunakan akuntansi keuangan maupun data yang
diestimasi untuk membantu manajemen dalam menjalankan operasional perusahaan
serta membuat prediksi di masa depan.
Bidang lainnya yang terkait ialah akuntansi biaya,
akuntansi lingkungan, akuntansi pajak, sistem akuntansi, akuntansi
internasional, akuntansi organisasi nirlaba dan akuntansi sosial.
Prinsip-Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum
(GAAP-General Accepted Accounting Principle)
Prinsip dan konsep akuntansi dikembangkan dari hasil
penelitian praktek akuntansi sehari-hari. Saat ini, Financial Accounting
Standards Board (FASB) merupakan lembaga yang memiliki kewenangan di AS dengan
tugas utama mengembangkan prinsip-prinsip akuntansi. Tugas yang sama dilakukan
oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia).
Beberapa konsep dan
prinsip akuntansi ialah :
a) Konsep Entitas Usaha
(Business Entity Concept)
Perusahaan dipandang sebagai entitas terpisah dari
pemilik, kreditor maupun pihak yang berkepentingan lainnya.
Misal : akuntan yang bekerja pada sebuah perusahaan
hanya akan melakukan pembukuan terhadap kegiatan perusahaan bukan kegiatan
pribadinya.
b) Konsep Biaya (Cost
Concept)
Merupakan dasar untuk membukukan harga pertukaran atau
biaya.
Misalnya : sebuah mesin dibeli seharga Rp 10 juta,
maka jumlah tersebut harus dimasukkan ke dalam catatan akuntansi pembeli.
Mungkin sebelumnya, penjual meminta harga Rp 12 juta; sementara mungkin pembeli
menawar Rp 8 juta untuk mesin tersebut.
c) Konsep Objektivitas
(Objectivity Concept)
Catatan dan laporan akuntansi harus didasarkan pada
bukti obyektif.
d) Konsep Unit Pengukuran
(Unit of Measure Concept)
Data ekonomi dicatat dalam satuan mata uang.
Aktiva, Kewajiban dan
Ekuitas Pemilik
Sumber daya yang dimiliki perusahaan disebut aktiva
(assets). Contohnya : kas, tanah, gedung, peralatan, dsb. Hak atau klaim atas
asset, dibagi menjadi dua jenis utama, yakni :
a) Hak Kreditor
Memperlihatkan utang perusahaan yang disebut kewajiban
(liabilities)
b) Hak Pemilik
Disebut juga ekuitas pemilik (owner’s equity)
Hubungan antara liabilities dan owner’s equity ialah :
=
+
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan akuntansi
(accounting-equation). Biasanya kewajiban diletakkan sebelum ekuitas pemilik
karena kreditor mempunyai hak terlebih dahulu atas aktiva perusahaan.
Transaksi Bisnis
dalam Persamaan Akuntansi
Kejadian atau kondisi ekonomi yang secara langsung
dapat mempengaruhi kondisi keuangan atau hasil operasi suatu entitas disebut
transaksi bisnis (business transaction). Semua transaksi bisnis dapat
dinyatakan dengan perubahan pada ketiga unsur persamaan akuntansi.
sUntuk menghasilkan barang siap
konsumsi, perusahaan memerlukan bahan – bahan dan faktor pendukung lainnya,
seperti bahan baku, bahan pembantu, peralatan dan tenaga kerja. Untuk
memperoleh bahan baku dan bahan pembantu serta tenaga kerja dikeluarkan
sejumlah biaya yang disebut biaya produksi. Hasil dari kegiatan produksi
adalah barang atau jasa, barang atau jasa inilah yang akan dijual untuk
memperoleh kembali biaya yang dikeluarkan. Jika hasil penjualan barang atau
jasa lebih besar dari biaya yang dikeluarkan maka perusahaan tersebut
memperoleh keuntungan dan sebalik jika hasil jumlah hasil penjualan barang atau
jasa lebih kecil dari jumlah biaya yang dikeluarkan maka perusaahaan tersebut
akan mengalami kerugian. Dengan demikian dalam menghasilkan barang perusahaan
menggabungkan beberapa faktor produksi untuk mencapi tujuan yaitu keuntungan.
Perusahaan merupakan kesatuan
teknis yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa. Perusahaan juga disebut
tempat berlangsungnya proses produksi yang menggabungkan faktor – faktor
produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Perusahaan merupakan alat dari
badan usaha untuk mencapai tujuan yaitu mencari keuntungan. Orang atau lembaga
yang melakukan usaha pada perusahaan disebut pengusaha, para pengusaha berusaha
dibidang usaha yang beragam.
Intisari :
Perusahaan : Suatu tempat untuk
melakukan kegiatan proses produksi barang atau jasa.
Perusahaan : Merupakan kesatuan
teknis yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa.
Biaya Produksi : Biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh bahan baku – bahan pembantu dan tenaga kerja.
Laba : Jika hasil yang diterima
lebih besar dari biaya produksi.
Rugi : Jika hasil yang diterima
lebih kecil dari biaya produksi.
3. KEBANGKRUTAN
Kebangkrutan biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan
dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan juga
sering disebut likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan atau
insolvabilitas. Menurut Drs. A. Abdurrachman dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan,
kebangkrutan adalah suatu proses yang dilakukan oleh seorang debitur dengan
mengisi suatu petisi yang menyatakan bahwa ia tidak mampu untuk memenuhi
kewajiban-kewajibanya atau hutang-hutangnya dan bersedia dinyatakan bangkrut.
Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti
(Muhammad Akhyar Adnan dan Eha Kurniasih, 2000:137): yaitu kegagalan ekonomi (Economic
failure) dan kegagalan keuangan (financial failure).
Kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa perusahaan
kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak menutup biayanya sendiri, ini
berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari
arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas
sebenarnya dari perusahaan tersebut jatuh di bawah arus kas yang diharapkan.
Bahkan kegagalan dapat juga berarti bahwa tingkat pendapatan atas biaya
historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan.
Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang
membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus
kas ada dua bentuk: Insolvensi Teknis dan Insolvensi dalam pengertian
kebangkrutan. Insolvensi teknis adalah Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan
tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo.
Walaupun total aktiva melebihi total utang atau terjadi bila
suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan
hutangnya seperti rasio aktiva lancar terhadap utang lancar yang telah
ditetapkan atau rasio kekayaan bersih terhadap total aktiva yang disyaratkan.
Insolvensi juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran
kembali pokok pada tanggal tertentu. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan
adalah kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif
dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan
lebih kecil dari kewajiban.
Kebangkrutan dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan
sebagai suatu keadaan atau situasi dalam hal ini perusahaan gagal atau tidak
mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan
mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan
usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak dapat
dicapai yaitu profit, sebab dengan laba yang diperoleh perusahaan bisa
digunakan untuk mengembalikan pinjaman, membiayai operasi perusahaan dan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bisa ditutup dengan laba atau aktiva
yang dimiliki.
Kebangkrutan akan cepat terjadi di negara yang sedang mengalami
kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya
kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sudah sakit kemudian semakin sakit
dan bangkrut. Perusahaan yang belum sakit pun akan mengalami kesulitan dalam
pemenuhan dana untuk kegiatan operasional akibat adanya krisis ekonomi
tersebut. Proses kebangkrutan, tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi
tetapi juga disebabkan oleh faktor yang lain yang sifatnya non ekonomi.
Dun & Bradstreet telah membuat persentase sebab-sebab
kebangkrutan sebagai berikut, manajemen tidak kompeten 45,6%, kurang pengalaman
di bidang manajerial 12,5%, pengalaman tidak seimbang dalam permodalan,
penjualan, produksi dana lain-lain 19,2%, kurang pengalaman di bidang produksi
yang ditangani 11,1%, kelalaian 0,7%, musibah 0,5%, penipuan 0,3%, dan alasan
yang tidak diketahui 10,1%.
Yang dimaksud dengan tidak kompetennya manajer antara lain
kegagalan mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan resesi dan trend industri
yang tidak menguntungkan. Kesulitan keuangan yang dihadapi perusahaan biasanya
akibat dari kesalahan perhitungan, kesalahan pertimbangan, dan kelemahan lain
yang saling berkaitan. Dimana secara langsung ataupun tidak menggambarkan
kemampuan manajemen.
Sedangkan menurut Bambang Riyanto, faktor-faktor penyebab
kegagalan usaha dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor intern dan ekstern.
Faktor intern berasal dari dalam perusahaan itu sendiri baik yang meliputi
faktor keuangan dan non keuangan. Faktor keuangan meliputi adanya hutang yang
terlalu besar sehingga menjadi beban tetap yang berat bagi perusahaan, adanya
kewajiban jangka pendek yang lebih besar dari aktiva lancar, lambatnya
pengumpulan piutang atau banyaknya bad
debt, kesalahan dalam kebijakan deviden, dan tidak cukupnya dana
penyusutan.Sedangkan faktor non keuangan adalah adanya kesalahan-kesalahan
dalam pemilihan lokasi, penentuan produk yang dihasilkan dan penentuan skala
usaha, kurang baiknya struktur organisasi, kesalahan dalam pemilihan pimpinan
perusahaan, adanya manajerial incompetence (kebijakan pembelian,
penjualan, pemasaran).
Sedangkan faktor ekstern yang berasal dari luar perusahaan dan
berada di luar jangkauan atau kontrol pimpinan perusahaan antara lain adalah
adanya persaingan yang hebat, berkurangnya permintaan terhadap produk yang
dihasilkan dan turunnya harga.
Menurut Drs. A. Abdurrachman, reorganisasi, pada umumnya, adalah
pengaturan atau perbaikan mengenai susunan kapital suatu perseroan, biasanya
yang meliputi penarikan kembali semua efek yang belum diselesaikan, dan
penggantiannya dengan efek yang baru. Pada khususnya, adalah suaturecapitalization mengenai suatu perseroan yang jatuh
bangkrut, yang menetapkan, bahwa para pemegang saham, pemegang obligasi, dan
para kreditur menyetujui satu sama lain akan menyerahkan
kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutannya, dan membentuk suatu perseroan
yang baru untuk menyelesaikan hutang-hutang perseroan yang lama dan melanjutkan
usaha-usahanya.
Dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa
reorganisasi adalah adalah situasi dimana aktiva dari perusahaan yang mengalami
kesulitan keuangan dinyatakan dalam nilai pasar dan penyusunan kembali struktur
permodalan perusahaan untuk mencerminkan tiap perubahan pada sisi aktiva. Dalam
reorganisasi, perusahaan berjalan terus sedangkan pada kepailitan perusahaan
dilikuidasi dan sirna.
Jika nilai perusahaan going
concern lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai perusahaan dilikuidasi, maka pilihan reorganisasi/restrukturisasi
layak dilakukan. Dalam situasi ini, operasi perusahaan akan diteruskan setelah
dilakukan perbaikan-perbaikan, terutama perbaikan struktur modalnya.Trustee (kurator) bisa ditunjuk untuk
menjalankan reorganisasi tersebut.
Rencana reorganisasi didasarkan pada prinsip keadilan dan
kelayakan. Prinisip keadilan berarti semua pihak harus diperlakukan secara adil
(fair).
Prinsip kelayakan berarti rencana tersebut harus layak (bisa) dilakukan.
Sebagai contoh, jika perusahaan mempunyai beban hutang terlalu tinggi sedangkan
kemampuan penjualan sangat kecil, maka reorganisasi tidak layak dilakukan.
Langkah-langkah reorganisasi:
1. Menentukan Nilai Perusahaan
Penilaian yang sering digunakan, dan yang termasuk sederhana,
adalah menghitung nilai perusahaan berdasarkan tingkat kapitalisasi.
2. Menentukan Struktur Modal yang Baru
Struktur modal tersebut bertujuan mengurangi beban tetap (bunga)
agar perusahaan bisa beroperasi dengan lebih fleksibel. Untuk mengurangi beban
tetap tersebut, total hutang biasanya akan dikurangi. Jika tidak ada lagi
harapan bahwa operasi perusahaan akan berhasil, maka likuidasi merupakan
alternatif satu-satunya yang mungkin dilakukan oleh perusahaan.
Likuidasi adalah proses dimana sebuah perusahaan sebagai suatu badan
hukum berhenti beroperasi dengan cara mengakhiri hidup perusahaan tersebut.
(Christopher Pass & Bryan Lowes. Kamus Lengkap Ekonomi 1994). Proses
demikian dapat dimulai atas permintaan para kreditor karena perusahaan dianggap
telah bangkrut. Orang yang ditunjuk sebagai likuidator menjual seluruh aset
perusahaan seharga nilai realisasinya nanti. Hasil dari perjanjian tersebut
digunakan untuk membayar kewajiban-kewajiban utama pada para kreditor. Jika
dana hasil penjualan aktiva tidak mencukupi untuk membayar kreditor, para
kreditor istimewa akan dibayar lebih dahulu baru kemudian para pemberi pinjaman
biasa dibayar dengan cara pembagian yang merata. Jika terdapat dana sisa ini
akan dibagikan secara merata diantara para pemegang saham perusahaan.
Proses likuidasi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (1) melalui
penyerahan, yaitu proses likuidasi yang tidak melalui pengadilan, dan (2)
melalui kepailitan formal berdasarkan yuridiksi suatu pengadilan khusus.
Likuidasi penyerahan adalah prodesur informal untuk melikuidir
hutang, bagi kreditur cara ini lebih menguntungkan dibanding kepailitan formal
karena mereka menerima lebih banyak. Dilakukan transfer kepemilikan aktiva
kepada pihak ketiga yang disebut assignee atau trustee. Assigneediinstruksikan
untuk menjual aktiva itu baik di bawah tangan atau melalui lelang umum dan
hasilnya dibagikan kepada kreditur secara pro-rata.
Sedangkan likuidasi kepailitan diatur dalam Undang-undang
kepailitan yang mempunyai tiga fungsi penting, yaitu melindungi kreditur dari
kemungkinan penipuan oleh debitur, pembagian aktiva debitur secara adil kepada
para kreditur, menghapuskan semua kewajiban debitur sehingga yang bersangkutan
dapat mulai usaha baru tanpa harus dibebani hutang terdahulu.
Distribusi aktiva dalam kepailitan ini diatur menurut urutan
prioritas tagihan dalam Bab 5 Undang-undang kepailitan 1978, Pasal 507,
ditetapkan masing-masing kreditur sebagai berikut:
1. Kreditur dengan jaminan (secured
Creditor) akan menerima hasil penjualan harta perusahaan debitor.
2. Biaya pengendalian bantuan hukum lain dan trustee diperhitungkan ke dalam hasil.
3. Beban pengeluaran setelah kasus terpaksa (involuntary
case), telah dimulai tetapi sebelumtrustee dibentuk.
4. Jumlah upah untuk pegawai dibatasi tidak
melebihi $2.000 per orang bila upah itu diterima tiga bulan sebelum petisi
kepailitan diajukan secara resmi.
5. Jumlah $2.000 yang diizinkan mencakupi
jumlah upah pegawai ditambah jumlah iuran dana pensiun pegawai yang belum
dibayarkan. Klaim iuran dana pensiun yang belum dibayarkan diizinkan untuk
diperhitungkan hanya jumlah yang diberikan 6 bulan sebelum petisi kepailitan
diajukan.
6. Jumlah klaim tanpa jaminan terhadap
deposito pelanggan $900 per orang.
7. Pajak yang berlaku secara efektif adalah
semua jenis pajak yang wajib dibayar oleh perusahaan.
8. Kewajiban dana pensiun yang belum ada
dananya lebih diperioritaskan kepada kreditor umum dan jumlah keseluruhannya
dibatasi sampai 30 persen dari seluruh modal saham biasa dan preferen
perusahaan; sisanya merupakan klaim yang sama seperti klaim kreditor umum.
9. Kreditor umum atau kreditor tanpa jaminan
meliputi kredit dagang, pinjaman tanpa jaminan, obligasi tanpa jaminan (debenture
bonds), dan bagian pinjaman dengan jaminan yang tidak terbayar
serta rencana pensiun yang belum terpenuhi dananya.
10. Pemegang saham preferen dapat menerima
jumlah sampai jumlah nominal saja.
11. Pemegang saham biasa menerima apa
saja yang tersisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar